Minggu, 27 November 2011

SKRIPSI PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT TERHADAP PERKAWINAN AKIBAT PERZINAAN


MOTO

ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.















ABSTRAK


Kata Kunci : Pernikahan dan Perzinaan
Perkawinan merupakan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat antara laki dan perempuan dengan tujuan menghalalkan hubungan suami istri yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebuah fenomena yang terjadi saat-saat ini praktek perzinaan telah tersebar, hal ini dapat diketahui ketika terdapat para pemuda hamil diluar nikah. Bahkan yang lebih memperhatinkan kejadian ini terjadi pada anak yang masih berada dibangku sekolah. Alternatif yang diambil untuk menghilangkan aib tersebut,diambillah jalan pernikahan. Ini yang terjadi di desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan kebanyakan mereka melakukan perzinaan terlebih dahulu lalu mereka melangsungkan pernikahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan akibat perzinaan, mengetahui seperti apa pandangan tokoh masyarakat terhadap perkawinan akibat perzinaan, mengetahui upaya tokoh masyarakat dalam mencegah perkawinan akibat perzinaan agar tidak terjadi lagi.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan dalam suatu masyarakat.

DAFTAR ISI

HALAM JUDUL ..............................................................................................       i
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................      ii
NOTO PEMBIMBING .....................................................................................     iii
HALAMAN MOTO ..........................................................................................     iv
ABSTRAK ........................................................................................................      v
DAFTAR ISI .....................................................................................................     vi

BAB I   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ...............................................................................      1
B.    Rumusan Masalah ..........................................................................      4
C.    Tujuan Penelitian.............................................................................      4
D.    Kegunaan Penelitian ......................................................................      4
E.     Devinisi Operasional ......................................................................      5
F.     Metode Penelitian ..........................................................................      6

BAB II  KAJIAN PUSTAKA
A.    Kajian Pustaka ...............................................................................    11
1.      Pengertian Perkawinan ............................................................    11
a.      Pengertian Perkawinan Menurut Figih Islam .....................    11
b.      Pengertia Perkawinan Menurut KHI .................................    14
2.      Sahnya Perkawinan ..................................................................    15
a.       Sahnya Perkawinan Menurut Figih Islam .........................    15
b.       Sahnya Perkawinan Menurut KHI ....................................    21
3.      Hukum Perkawinan Akibat Perzinaan .....................................    24
a.      Hukum Perkawinan Menurut Figih Islam ..........................    24
b.      Pendapat Para Madzhab Tentang Perkawinan Akibat Perzinaan                       25
c.      Hukum Perkawinan Akibat Perzinaan Menurut KHI.........    27
4.       Dampak Perkawinan Akibat Perzinaan ..................................    30
5.      Upaya-upaya untuk menghindari zina .....................................    33

BAB III          SUMBER DATA
A.    Sumber Data ..................................................................................    38
1.      Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ..........................................    38
a.       Keadaan Geografis ...........................................................    38
c.      Keadaan Sosial Ekonomi ...................................................    40
d.     Keadaan Sosial Pendidikan ...............................................    41
e.      Keadaan Sosial Keagamaan ...............................................    42
2.      Prosesi Pengumpulan Data ......................................................    44

BAB IV          PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
A.    Penyajian Data ...............................................................................    47
1.      Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Akibat Perzinaan              47
2.       Pandangan Tokoh Masyarakat Tentang Perkawinan Akibat Perzinaan                  51
3.      Upaya Tokoh Masyarakat Dalam Mencegah Perkawinan Akibat Perzinaan                       53
B.    Analisis Data ..................................................................................    60

BAB V PENUTUP
A.    Kesimpulan ......................................................................................    66
B.     Saran-saran .......................................................................................    67

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
                  Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak, melestarikan hidupnya.[1]
                  Sesuai dengan fitrahnya manusia tidaklah dapat hidup menyendiri karena ia tergolong makhluk sosial yang memiliki sifat ketergantungan dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, demikian halnya antara laki-laki dengan perempuan.
                  Perkawinan sangatlah penting dalam tatanan kehidupan manusia baik untuk individu maupun kelompok, melalui perkawinan yang sah maka pergaulan antara laki-laki dan perempuan akan terjamin secara terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia.
1
 
                  Namun dalam realisasinya, perkawinan pada zaman sekarang penuh berbagai macam budaya yang silih berganti, baik dari luar maupun dalam masyarakat itu sendri, yang berakibat perkawinan itu tidak jarang menyimpang dari ajaran Islam. Peribahasa mengatakan lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya lain masyarakat lain pula aturan perkawinannya.[2]
                  Agama Islam merupakan Agama yang universal dan sempurna dalam mengatur segala bidang kehidupan, khususnya yang menyangkut hubungan sesama manusia, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ Ayat 3.
(#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$#  ........ ÷ ÇÌÈ

      Maka kawinlah wanita-wanita lain yang kamu senangi ………”[3]

                  Perkawinan merupakan sunnatullah yang tidaklah cukup dengan dipertemukannya dua mempelai laki-laki dan perempuan, namun harus melalui prosedur dan aturan-aturan yang sudah ditentukan oleh agama maupun adat setempat. Jika tidak demikian maka akan berakibat fatal sebagaimana yang terjadi di kalangan masyarakat muslim dengan kehidupan sehari-harinya tidak pernah terlepas dari pengaruh dari budaya yang masuk. Tanpa disadari lambat laun akhirnya budaya-budaya tersebut mereduksi nilai-nilai keislaman masyarakat sehingga timbullah penyimpangan moral (perilaku-perilaku yang keluar dari aturan/norma agama).
                  Contohnya adanya kumpul kebo yang terjadiakibat pergaulan yang bebas di luar batas yang mengakibatkan wanita-wanita hamil di luar nikah. Hal ini membuat masyarakat resah sehingga menangkapnya menurut adat yang berlaku. Tindakan masyarakat tersebut supaya menjadi peringatan keras agar perilaku tersebut supaya menjadi peringatan keras agar perilaku tersebut tidak terulang kembali. Suatu tindakan yang bisa diambil sebagai pelajaran bagi pelaku sesuai dengan Agama Islam. Sebab tindakan tersebut secara psikologi, biologis maupun pedagogis sangat merugikan kehidupan individual, keluarga, maupun masyarakat setempat.
                  Perkawinan akibat perzinaan terkadang memang dikehendaki oleh para pelaku itu sendiri dengan alasan karena tiak direstui oleh orang tuanya sehingga dengan sengaja berbuat seperti itu dengan kekasih pilihannya. Dengan sendirinya restu orang tua akan didapatkan karena rasa malu bila anaknya melahirkan tanpa ada suami.
                  Peristiwa semacam itu sebenarnya sudah sering terjadi di masyarakat Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan yang kemudian dijadikan sebagai kebiasaan oleh para kekasih yang tidak direstui orang tuanya. Semoga kejadian ini menjadi kejadian terakhir untuk menyelamatkan para remaja setempat. Dalam hal ini peran orang tua sangat penting agar anak-anaknya tidak melakukan perzinaan yang dilaknat Allah SWT dan terhindar dari bermacam-macam penyakit yang menimpa khususnya penyakit AIDS. Para remaja sebenarnya tahu dampak dari perbuatan mereka sendiri, tetapi kenapa masih melakukan perzinaan yang dilaknat oleh semua ajaran agama ?.
                  Berangkat dari latar belakang di atas, kiranya tidak berlebihan apabila peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang :
     
“Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Perkawinan Akibat Perzinaan
(Studi Kasus di Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan)”.



B.  Rumusan Masalah
                  Dengan memperhatikan latar belakang yang penlis uraikan di atas, maka timbullah pokok permasalahan dalam penelitian yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
      1.   Faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi terjadinya perkawinan akibat perzinaan ?
      2.   Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan dengan fenomena perkawinan akibat perzinaan ?
      3.   Bagaimana upaya tokoh masyarakat dalam menghadapi fenomena perkawinan akibat perzinaan ?

C.  Tujuan Penelitian
                  Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka disini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti diantaranya yaitu :
      1.   Untuk mengetahui faktor-faktor masyarakat Tidu dalam menyikapi adanya kasus perkawinan akibat perzinaan.
      2.   Untuk mengetahui pandangan tokoh masyarakat Tidu dalam menyikapi adanya kasus perkawinan akibat perzinaan.
      3.   Untuk mengetahui upaya tokoh masyarakat dalam menghadapi fenomena hubungan seksual sebelum menikah.

D.  Kegunaan Penelitian
      1.   Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menambah khasanah keilmuan di perpustakaan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI Darullugo Waddalwa) Pasuruan, tentang pandangan tokoh masyarakat terhadap perkawinan akibat perzinaan (studi kasus yang terjadi di masyarakat Desa Tidu – Kecamatan Pohjentrek – Kabupaten Pasuruan).
      2.   Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh praktisi hukum, masyarakat umum dan peneliti lain dalam memahami pandangan tokoh masyarakat terhadap perkawinan akibat perzinaan, sebagai informasi dalam mengembangkan rancangan penelitian lanjutan yang relevan perkembangan keilmuan.
      3.   Memberi sanksi yang berat terhadap yang melakukan perzinaan diantaranya dikeluarkan dari desa setempat.

E.  Definisi Operasional
      Pandangan   :  Konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam masyarakat yang bermaksud dan menerangkan segala masalah di dunia ini.[4] Pada pembahasan ini mengenai masalah perkawinan akibat perzinaan.
      Tokoh           :  Orang-orang terbaik/pilihan dalam suatu kelompok. Misalnya
Masyarakat   : Kiyai, Ustadz, Ketua RT, Ketua RW, Kepala Desa dan Pihak KUA.
      Pernikahan   :  Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.[5]
      Perzinaan      :  Suatu perbuatan yang dilakukan dengan adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya di luar perkawinan yang sah.

F.   Metode Penelitian
      1.   Pendekatan Penelitian
                           Pendekatan adalah sudut pandang yang digunakan terhadap fokus penelitian, yang menurut penggunaan unsur informasi dan unsur metodologi yang lazim dikembangkan dalam disiplin ilmu, atau antar disiplin ilmu.[6]
                           Dengan melihat wilayah permasalahan di atas maka pendekatan penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan penelitian yang dilakukan jika datanya dinyatakan dalam bentuk verbal dan dianalisis tanpa menggunakan statistik. Kemudian datanya digambarkan dengan kalimat dan dipindahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.[7]
                           Oleh karena itu pendekatan ini menuntut agar peneliti lebih berinteraksi dengan fakta yakni dengan cara menginterprestasikan fakta dengan pendapat pribadi dengan merujuk permasalahan ini maka peneliti ingin mengetahui tentang pandangan elit masyarakat terhadap perkawinan akibat perzinaan di Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan.
                           Oleh sebab itu hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran yang utuh dan terorganisir dengan baik tentang kompetensi-kompetensi tertentu, sehingga dapat memberikan kevalidan terhadap hasil penelitian.

      2.   Subjek Penelitian
                           Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti.[8] Dalam hal ini subjek penelitian diantaranya Abdullah selaku Kepala Desa, H. Romli selaku Tokoh Agama, Sugeng selaku Ketua RT, Kartono selaku Ketua RW Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan.

      3.   Sumber Data
                           Dalam sebuah penelitian yang dimaksud sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sedangkan sumber-sumber data yang akan menjadi rujukan dalam kajian ini adalah meliputi :
            a.   Sumber Data Primer
                                 Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama.[9] Dalam hal ini sumber pertama dari penelitian ini adalah tokoh masyarakat Tidu yang memberikan pandangan tentang perkawinan akibat perzinaan dimana masyarakat berharap semoga tidak terjadi lagi praktek perzinaan .

            b.   Sumber Data Sekunder
                                 Yaitu data yang pengumpulannya tidak dihasilkan sendiri dari peneliti. Data ini diperoleh dengan melakukan kajian pustaka seperti buku, hasil penelitian dan sebagainya.

      4.   Metode Pengumpulan Data
                           Untuk mendapatkan data yang berkaitan dengan penelitian ini, maka dibutuhkan metode pengumpulan data yaitu interview ialah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.[10] Interview digunakan oleh peneliti untuk menggali opini atau pendapat seseorang. Dalam hal lini interview dilakukan kepada masyarakat di Desa Tidu yang diantaranya Abdullah selaku Kepala Desa, H. Romli selaku Tokoh Agama, Sugeng selaku Ketua RT, Kartono selaku Ketua RW Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan.

      5.   Metode Analisis dan Interpretasi Data
                           Data yang telah dikumpulkan dengan lengkap di lapangan melalui interview, mengumpulkan dokumen-dokumen selanjuttnya diolah dan dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Adapun untuk menjawab masalah penelitian tentu saja data yang didapat perlu diorganisasikan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif dimana deskriptif merupakan laporan penelitian yang berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.[11] Dan juga dalam pengolahan data yang melalui beberapa tahapan untuk menyimpulkan suatu realita dan fakta dalam menjawab sebuah persoalan. Tahap-tahap dalam pengolahan data diantaranya :
            a.   Verifying
                                 Yaitu langkah dan kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini untuk memperoleh data dan informasi lapangan harus dicrosscek kembali agar validitasnya dapat diakui oleh pembaca.[12]
            b.   Analysing
                                 Yaitu proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Interpretasi pada dasarnya merupakan penarikan kesimpulan dari analisis yang dilakukan atas dasar data kualitatif.
            c.   Concluding
                                 Yaitu pengambilan kesimpulan dari proses penelitian yang menghasilkan suatu jawaban yang menjadi generalisasi yang telah dipaparkan di bagian latar belakang.[13]







BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.  Kajian Pustaka
      1.   Pengertian Perkawinan
            a.   Menurut Fiqih Islam
                              Dalam hukum Islam, perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia disamping itu merupakan asal usul dari suatu keluarga, yang mana keluarga sebagai unsur dari suatu negara.
11
 
                              Pengertian perkawinan itu sendiri dalam Bahasa Arab disebut dengan al nikah yang bermakna al wathi’ dan al dammu wa al takhul, terkadang juga disebut dengan al dammu wa al jam’u, atau ‘ibarat’an al wath’ wa al ‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad.[14] Para ulama fiqih mempunyai perbedaan dalam merumuskan pengertian perkawinan diantaranya nikah adalah merupakan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorng laki-laki dengan seorng perempuan untuk membolehkan atau menghalalkan hubungan kelamin sebagai suami istri. Hakekat nikah itu ialah akad antara calon laki-laki dan istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.[15]
                              Menurut Al Zuhaily, nikah adalah akad yang telah ditetapkan oleh Syariat agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya.[16]
                              Menurut Ulama Hanafiah, nikah adalah kehalalan seorang laki-laki untuk beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.[17]
                              Menurut Ulama Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafadz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud megnambil manfaat untuk bersenang-senang.[18]
                              Menurut Abu Zahrah di dalam kitabnya al ahwal al syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.[19]
                              Menurut Imam Taqiyuddin di dalam kitab Kifayat Al Akhyar mendefinisikan nikah sebagai ibarat tentang akad yang masyur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud denan akad adalah al wath’ (bersetubuh).[20]
                              Menurut Imam Syafi’i, nikah adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita. Sedangkan menurut arti majazi nikah itu artinya hubungan seksual.[21]
                              Maka dari itu definisi perkawinan, adalah sebuah akad atau perjanjian yang menyebabkan halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, dan mengakibatkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri.
                              Perkawinan itu merupakan salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an Surat Adz Dzaariyat : 49 yang berbunyi :
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ   
                  “Dan dari segala sesuatu kami jadikan berjodoh-jodohan, agar kamu sekalian mau berfikir”.[22]

                              Dan begitu pula Allah telah menjelaskan dalam Surat Yasin : 36 yang berbunyi :
z`»ysö6ß Ï%©!$# t,n=y{ ylºurøF{$# $yg¯=à2 $£JÏB àMÎ7/Yè? ÞÚöF{$# ô`ÏBur óOÎgÅ¡àÿRr& $£JÏBur Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÏÈ  

                   “Maha Suci Allah yang telah menciptakan berpasang-pasangan semuanya, baik tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui”.[23]

                              Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.
                              Firman Allah SWT dalam Surat Al Hujarat : 13 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$ öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
                  “Wahai manusia, kami telah jadikan kamu, dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[24]

                              Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti naurinya dan berhubungan antara jantan dan betinya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga keharmonisan dan kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.
                              Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhoi, dengan ucapan ijab qobul sebagai lambang dari adanya rasa ridho-meridhoi, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kalau pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
                              Bentuk perkawinan ini telah memberikan jalan yang aman pada naluri (seks), memelihara keturunan dengan baikm dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang bisa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya.
                              Pergaulan suami istri diletakkan di bawah naungan naluri keibuan dan kebapakkan, sehingga nantinya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan membuahkan buah yang bagus.
                              Peraturan perkawinan inilah yang diridhoi Allah dan diabadikan Islam untuk selamanya, sedangkan yang lainnya dibatalkan.[25]
            b.   Pengertian Perkawinan Menurut KHI
                              Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqaan gholidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata miitsaqaan gholidhon terdapat dalam firman Allah SWT pada surat An Nisa’ ayat 21 yang berbunyi :
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ šcõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ  
                   “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri, dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.[26] .......................................................................................... ( QS. An Nisa’: 21 )
                              Maka prinsip antara suami istri hendaklah menjadikan pergaulan yang sesuai ajaran Islam, sebagaimana berikut ini :
                  1.   pergaulan yang makruf (pergaulan yang baik) yang saling menjaga rahasia masing-masing
                  2.   Pergaulan yang sakinah (pergaulan yang aman dan tentram)
                  3.   Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai terutama di masa muda) remaja
                  4.   Pergaulan yang disertai rahmah (rasa santun menyantuni terutama setelah masa tua).[27]

      2.   Sahnya Suatu Perkawinan
            a.   Sahnya Suatu Perkawinan Menurut Fiqih Islam
                              Suatu perkawinan akan sah hukumnya apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, terutama yang menyangkut kedua belah pihak yang hendak melaksanakan perkawinan maupun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui, bahwa perkawinan adalah suatu kegiatan keagamaan, maka haruslah dilaksanakan sesuai dengan aturan yang disyariatkan oleh Agama, dalam hal ini adalah Agama Islam. Jika tidak demikian, pertemuan antara pria dan wanita itu tidak lebih baik dari pertemuan atau perkawinan hewan.
                              Mengenai rukun dan syarat perkawinan adalah mempunyai pengertian yang berbeda. Yang dimaksud rukun perkawinan adalah sebagian dari hakekat perkawinan dan tidak dapat terjadi suatu perkawinan kalau tidak ada laki-laki dan perempuan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat adalah sesuatu yang mesti ada dalam perkawinan tetapi tiada termasuk salah satu bagian dari pada hakekat perkawinan itu misalnya syarat wali.[28] Antara rukun dan syarat perkawinan harus terdapat saling keterkaitan, apabila salah satu dari rukun perkawinan itu terlebih dahulu menentukan terhadap sah atau tidaknya suatu perkawinan.
                              Adapun yang termasuk dari rukun perkawinan yaitu hakekat dari suatu perkawinan supaya perkawinan dapat dilakukan, yang diantaranya sebagai berikut :
                  1.   Shighah
                  2.   Calon istri
                  3.   Calon suami
                  4.   Wali
                  5.   Dua orang saksi[29]
                              Akad nikah merupakan bentuk formalitas perkawinan yang harus dipenuhi menurut ketentuan syar’i, untuk membedakan dengan formalitas perzinaan.[30] Dan akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wakilnya yang akan menikahkannya. Keterangan ini dapat dilihat dalam dalil-dalil tentang peranan wali dalam akad nikah diantaranya sabda Rasulullah yang berbunyi :

وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم : إنَّمَا امْرَآةٌ نَكَحَتْ بِغَيرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَحُهَا بَاطِلٌ ( اَخْرَجَهُ الاْربَعَة الاّ النَّسَاءِ )
                   “Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda. “Sesunguhnya wanita yang kawin tanpa izin walinya, maka perkawinannya batal”. (HR. yang lima kecuali Nasa’i)[31]

                              Selain di atas ada lagi bahwa harus dengan adanya saksi, sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan hadits marfu’nya yang berbunyi :
وَعَنْ حَسَن قَالَ : قَالَ رَسُوْل الله صَلىَ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم : لاَ يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاح اِلاّ بِوَلِيّ وَشَاهِدَيْنِ .( رواه أحمد)

                  Artinya : “Dari Hasan berkata Rosululloh bersabda, Sesungguhnya wanita yang menikah tanpa izin walinya dan kedua orang saksi maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad)[32]

                              Saksi di sini dijelaskan harus,
                  1.   Laki-laki
                  2.   Sudah baligh
                  3.   Akalnya sehat
                  4.   Tidak terpaksa
                  5.   Harus adil
                  6.   Untuk saksi selain di atas dia harus bisa mendengar dan bisa melihat, dan mampu memahami bahasa yang digunakan akad nikah (ijab qobul). Ini yang penting, sebab ada saja pengantin yang membawa saksi yang tidak mengerti bahasa ijab qobul, yang sekalipun secara hakikat ia faham maksud secara kedatangan sebagai saksi, namun secara syarat atau pengertian lughowi itu pun penting, menyangkut sah dan tidaknya perkawinan.
                              Dan adapun syarat-syarat perkawinan yang merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Dalam masalah syarat perkawinan ini terdapat beberapa pendapat diantara para mazhab fiqih yaitu sebagai berikut :
            1.   Ulama Hanafiah mengatakan bahwa sebagian syarat-syarat pernikahan berhubungan dengan sighoh, dan sebagian lagi berhubungan dengan akad, serta sebagian lainnya berkaitan dengan saksi.
                  A.  Sighoh, yaitu ibarat dari ijab dan qobul, dengan syarat sebagai berikut :
                        a)   Menggunakan lafal tertentu, baik dengan lafal sorih misalnya : tazwij
                        b)   Maupun dengan lafal kinayah, seperti :
                              a.   Lafal yang mengandung arti akad untuk memiliki[33], misalnya : saya sedekahkan anak saya kepada kamu, saya hibahkan anak saya kepada kamu, dan sebagainya
                              b.   Lafal yang mengandung arti jual untuk dimiliki, misalnya : milikilah diri saya untukmu, milikilah anak perempuan saya untukmu dengan Rp. 500,00,-
                              c.   Dengan lafal ijarah atau wasiat, misalnya : saya ijarahkan diri saya untukmu, saya berwasiat jika saya mati anak perempuan saya untukmu.
                        B.  Ijab dan Qobul, dengan syarat yang dilakukan dalam satu majelis
                              a.   Sighah didengar orang-orang yang menyaksikannya
                              b.   Antara ijab dan qobul tidak berbeda maksud dan tujuannya
                              c.   Lafal sighah tidak disebutkan untuk waktu tertentu
                              d.   Akad, dapat dilaksanakan dengan syarat apabila kedua calon pengantin berakal, baligh dan merdeka.
                              e.   Saksi, harus terdiri dari dua orang. Maka tidak sah apabila akad nikah hanya disaksikan oleh satu orang. Dan tidak disyaratkan keduanya harus laki-laki dan dua orang perempuan. Namun demikian apabila saksi terdiri dari dua orang perempuan, maka nikahnya tidak sah.

                              Adapun syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut :
                              1.   Berakal, bukan orang gila
                              2.   Baligh, bukan anak-anak
                              3.   Merdeka, bukan budak
                              4.   Islam
                              5.   Kedua orang saksi itu merdeka
                  2.   Imam Syafi’i berpendapat bahwa, syarat-syarat pernikahan itu ada yang berhubungan dengan sighoh, dan juga yang berhubungan dengan wali, serta ada yang berhubungan dengan kedua calon pengantin, dan ada lagi yang berhubungan dengan saksi.[34]
                                    Menurut Ulama’ rukun perkawinan ada lima masing-masing rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari rukun tersebut.
                        1.   Calon suami, syarat-syaratnya :
                              a.   Beragama Islam
                              b.   Laki-laki
                              c.   Jelas orangnya
                              d.   Dapat memberikan persetujuan
                              e.   Tidak terdapat halangan perkawinan
                        2.   Calon istri, syarat-syaratnya :
                              a.   Beragama Islam
                              b.   Laki-laki
                              c.   Jelas orangnya
                              d.   Dapat memberikan persetujuan
                              e.   Tidak terdapat halangan perkawinan
                        3.   Wali nikah, syarat-syaratnya :
                              a. Laki-laki
                              b.   Dewasa
                              c.   Mempunyai hak perwalian
                              d.   Tidak terdapat halangan perwalian
                        4.   Saksi nikah, syarat-syaratnya :
                              a.   Minimal dua orang laki-laki
                              b.   Hadir dalam ijab qobul
                              c.   Dapat mengerti maksud akad
                              d.   Islam
                              e.   Dewasa
                        5.   Ijab Qobul, syarat-syaratnya :
                              a.   Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
                              b.   Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
                              c.   Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari dua kata tersebut
                              d.   Antara ijab dan qobul bersambungan
                              e.   Antara ijab dan qobul
                              f.    Orang yang terkait dengan ijab dan qobul
                              g.   Tidak sedang ihrom, haji atau umroh
                              h.   Majelis ijab qobul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau walinya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.[35]
            b.   Sahnya perkawinan menurut KHI
                              Sahnya perkawinan menurut KHI yang terdapat pada pasal 4 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan”.[36] Dan sahnya perkawinan menurut hukum Islam harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut :

                  1.   Syarat Umum
                                    Perkawinan itu tidak dilakukan yang bertentangan dengan larangan-larangan termaktub dalam ketentuan Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 221 yaitu larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam surat Al Madinah aya t5. Kemudian tidak bertentangan dengan larangan-larangan dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 22, 23 dan 24.
                  2.   Syarat khusus
                        a.   Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
                        b.   Kedua calon mempelai itu harus Islam, aqil baligh, sehat baik rohani maupun jasmani
                        c.   Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh perkawinan itu dipaksakan
                        d.   Harus ada wali nikah
                        e.   Minimal dua orang saksi, dewasa dan adil
                        f.    Membayar mahar
                        g.   Pernyataan ijab dan qobul.[37]
                                    Adapun pada KHI ketika membuat rukun perkawinan tampaknya mengikuti sistematika sistem yang mengaitkan rukun dan syarat. Ini dimuat dalam pasal 14. Pada pasal-pasal berikutnya juga dibahas tentang wali, saksi, akad nikah, namun sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Mengenai wali nikah yang terdapat pada pasal 19 yang berbunyi “Wali nikah perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”
                                    Selanjutnya pada pasal 20 dinyatakan,
                        1.   Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan baligh.
                        2.   Wali nikah terdiri dari wali nasab dan wali hakim.[38]
                                    Dalam pembahasan saksi nikah, KHI juga masih senada dengan apa yang berkembang dalam fiqih. Terdapat pada pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa “Saksi nikah merupakan rukun nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi”. Mengenai syarat-syarat saksi terdapat pada pasal 25 yang berbunyi “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu dan tuli”.
                                    Pada pasal 26 yang berbunyi “Keharusan saksi menghadiri akad nikah secara langsung dan menandatangani akad nikah pada waktu dan tempat akad nikah dilangsungkan”.
                                    Pada pasal 27 KHI mengatur akad nikah yang berbunyi “Ijab dan qobul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu”. Jika pembahasan wali saksi sebagai rukun nikah tetapi dalam akad nikah pernyataan demikian tidak ada dan ini sama dengan pembahasan calon mempelai. Sampai disini sebenarnya KHI tidak konsisten dalam menjelaskan rukun nikah. Demikian bukan berarti akad nikah tidak termasuk rukun.[39]
      3.   Hukum Perkawinan Akibat Perzinaan
            a.   Hukum Perkawinan Akibat Perzinaan Menurut Fiqih Islam
                              Para ulama sepakat bahwa laki-laki pezina halal menikahi wanita pezina dengan demikian maka perkawinan antara laki-laki dengan wanita yang dihamilinya sendiri adalah sah atau boleh karena tidak bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surat An Nur ayat 3 sebagai berikut :

ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ  
                        “Laki-laki berzina tidak boleh kawin melainkan sama perempuan yang berzina atau perempuan musyrik dan perempuan berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan orang yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.[40]

                              Maksud dari ayat ini adalah mengemukakan untuk menghindari perzinaan, karena laki-laki dan perempuan pezina akan mendapatkan pasangan hidup yang sama.[41] Dari itu bila kita mau mendapatkan suami atau istri yang baik terlebih dahulu perbaiki tingkah laku yakni melakukan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
            b.   Pendapat Para Madzhab Tentang Perkawinan Akibat Zina
                              Jumhur Ulama menurut kebanyakan ulama fiqih berpendapat bahwa, wanita hamil karena zina boleh dikawini siapa saja baik laki-laki yang menghamilinya maupun laki-laki lain, karena kandungan yang ada pada wanita itu tidak sah keturunannya. Hal ini didasarkan alasan bahwa Al Qur’an tidak menyebutkan wanita hamil karena zina ke dalam kelompok wanita yang haram dinikahi sebagaimana disebutkan dalam surat An Nisa’ 23 dan 24.[42]
                  1.   Imam Syafi’i berpendapat bahwa nikah dengan wanita akibat perzinaan hukumnya boleh karena terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah yang berbunyi “Tidak diharamkan perkara haram bila menjadi halal”.[43]
                  2.   Imam Abu Hanifah berpendapat hukumnya boleh dengan dua alasan :
                        a.   Karena wanita zina bukan termasuk wanita yang haram untuk dinikahi
                        b.   Karena boleh menikahi anak hasil zina.[44]
                                          Dalil dari pada pendapat Imam Syafi’i yang dikuatkan oleh Abu Hanifah diatas bahwasanya senantiasa berpegang teguh dengan pernyataan-pernyataan bahasa hukum dan istilahnya. Secara implisit perkataan nikah mereka artikan hubungan badan yang halal karena akad nikah. Sedangkan orang yang hamil tanpa akad nikah terlebih dahulu tidak dapat dipersamakan dengan orang yang hamil karena hubungan suami istri. Namun mereka tetap berstatus sesuai dengan keadaan sebelum mereka melakukan perzinaan.
                  3.   Imam Maliki juga memperbolehkan menikahi wanita zina dengan syarat menunggu akad nikah selama tiga bulan atau tiga haid.[45]
                  4.   Imam Hambali berpendapat bahwa wanita yang berzina baik hamil atau tidak, dilarang dinikahkan oleh laki-laki yang mengetahui keadaannya kecuali bila terpenuhi dua syarat :[46]
                        a.   Wanita itu telah habis iddahnya, berlaku baginya masa tunggu sebagaimana layaknya iddah wanita yang diceraikan atau ditinggal mati, yakni tiga kali haid bagi yang tidak hamil terhitung sejak ia melakukan zina dan melahirkan anak bagi wanita yang hamil, sebelum iddahnya habis ia belum boleh menikah dengan laki-laki manapun juga, pendapat itu sama dengan Imam Maliki, dan keharamannya itu didasarkan kepada hadits diambil dari kias yang melarang menyirami kebun orang lain yang sudah mempunyai tanaman.
                        b.   Wanita itu telah taubat dari perbuatan maksiat (zina) apabila ia belum taubat maka ia tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki manapun juga meskipun telah habis iddahnya.[47]
                                    Kalau pendapat-pendapat diatas kita telusuri perbedaan pendapatnya terjadi pada sah dan tidaknya perkawinan sesudah hamil akibat zina atau perkawinan wanita hamil di luar nikah dengan laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lain. Pendapat yang mengatakan sah nikahnya karena larangan-larangan yang dikemukakan yang terdapat dalam hadits dapat menjadi pegangan dan tidak ada ayat Al Qur’an yang secara tegas melarang, kalau ditinjau dari segi  sosiologis memang menguntungkan bagi pihak wanita karena pendapat-pendapat tersebut diatas sama saja yakni tidak boleh berkumpul berarti sama saja tidak kawin.
                        c.   Hukum Perkawinan Akibat Perzinaan Menurut KHI
                                          Di Indonesia sedikit banyak pendapat ulama-ulama tersebut diatas masih berpengaruh terhadap pola pikir umat Islam untuk menentukan hukum, sehingga masih selalu tumbuh perbedaan-perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan mengharamkan ini ada juga yang tidak konsisten dengan pendapatnya yakni kebiasaan mereka terpaksa menikahkannya hanya untuk menutup malu dengan syarat setelah menikah belum boleh campur sebagai suami istri, dan setelah anaknya lahir pernikahannya harus diulangi. Pendapat ini agak sulit dipahami sebab bila ia berpendapat haram maka semestinya jangan dilaksanakan perkawinan itu walaupun harus menanggung malu dan sebaliknya bila hendak dilaksanakan pernikahan itu yang berarti boleh (tidak haram) maka ketentuan tidak boleh campur dulu dan harus menikah ulang itu tidak perlu diadakan. Inilah keadaan hukum dalam masyarakat Islam Indonesia, walaupun agak sulit diterima oleh logika hukum, tapi inilah yang hidup di kalangan masyarakat.
                                          Untuk mengakhiri keanekaragaman dalam penerapan hukum itu, maka bagi bangsa dan negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 mutlak diperlukan adanya keseragaman hukum yang menjamin hidup bernegara dan mengarah kepada kesatuan hukum yang menjamin hidup bernegara dan mengarah kepada kesatuan hukum sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama Islam. Oleh karena itu dalam Kompilasi Hukum Islam pasall 53 ayat 1 dinyatakan seorang wanita hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Ayat ini mengandung ketegasan hukum dan sekaligus menghapus keragu-raguan umat Islam tentang boleh atau tidaknya menikahkan wanita hamil karena zina, dan pada pasal 53 (KHI) ayat 2 dinyatakan : “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa mengganggu terlebih dahulu kelahiran anaknya”. Oleh karena pernikahan itu sudah dinyatakan sah menurut hukum, maka tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir, sebagaimana ditegaskan pada pasal 53 ayat 3 KHI sebagai berikut :
                              “Dengan dilangsungkannya pernikahan pada saat wanita hamil tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir”.[48]
                                          Ketentuan hukum tersebut di atas sama sekali tidak berani melegalisir perbuatan zina yang telah diperbuat oleh yang bersangkutan yang dihalalkan atau diperbolehkan, karena hukum menyatakan bahwa perbuatan dan segala akibat perzinaan itu tetap dipandang tidak sah menurut hukum sebagaimana dinyatakan pada pasal 199, KHI sebagai berikut : Anak yang adalah :
                              a.   Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
                              b.   Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
                                          Pada pasal 100 berbunyi anak yang lahir diluar pernikahan tidak dinyatakan sebagai anak yang sah menurut hukum, sehingga pada gilirannya ketentuan anak yang lahir diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dan pihak ibunya, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 186, KHI sebagai berikut : “Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya. Dan dalam penjelasan pasal 186 tentang anak yang lahir diluar perkawinan dinyatakan : yang dimaksud dengan anak yang lahir diluar perkawinan adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah atau akibat hubungan yang tidak sah.[49]
      4.   Dampak Perkawinan Akibat Perzinaan
            a)   Dampak terhadap kelurga
                              Seseorng yang melakukan perzinaan akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga.[50] Perzinaan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga akan menanggung beban yang begitu berat. Apalagi kalau perzinaan tersebut mengakibatkan kehamilan, maka nama baik keluarga akan terancam dengan hadirnya anggota baru yang tidak memiliki orang tua secara lengkap (ayah). Selain itu, teraniaya anak-anak yang tidak berdosa akibat ulah orang-orang (orang tua yang melakukan perzinaan) yang tidak bertanggung jawb, sehingga mereka terpaksa menyandang sebutan anak zina/jaddah.[51]
            b)   Dampak terhadap kesehatan
                              Secara medis telah ditetapkan, bahwa zina menyebabkan berbagai penyakit dan wabah yang mematikan. Dr. Jhon Beardstown mengatakan bahwa : “Indikasi-indikasi yang dikumpulkan dalam berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyakit kelamin kebanyakan ditimbulkan oleh hubungan seks diluar pernikahan”.
                              Selain itu, Dr. Cauld Scott Nichold juga mengungkapkan bahwa :
                  “Sebenarnya problem pertama yang kita hadapi sekarang adalah perubahan nilai-nilai etika yang didorong oleh hubungan seks yang diharamkan. Hal ini pada gilirannya, menyebabkan berkembangnya penderita penyakit yang ditimbulkan oleh kebebasan seks (perzinaan)”.[52]

                              Beberapa penyakit yang ditimbulkan karena perzinaan antara lain sifilis, gonore, ulkus mole, limfroganuloma, vena – rium, gramunola linguinale, AIDS, molluskum kantongisum, trikomoniasis, uretris non spesifik dan masih banyak lainnya. Semua penyakit ini terbukti berpotensi sangat besar dapat menyebar melalui hubungan seks. Itu merupakan penyakit yang ditemukan secara kosmopolitik dalam jumlah yang sangat besar.[53]
            c)   Dampak terhadap masyarakat
                              Tidak dapat disangkal, bahwa adanya perbuatan zina mengakibatkan lahirnya anak-anak haram Kekerasan dan kekejaman biasanya akan menimpa anak tersebut, yang selanjutnya akan merusak peradaban secara umum. Selain itu dengan adanya perbuatan zina, maka ada pula prostitusi dan wanita jahat yang merupakan kalangan yang sangat terhina dan tercela dalam masyarakat. Hal ini betul-betul merupakan hal yang bertentangan dengan keadilan dan persaudaraan dalam masyarakat.
                              Ustadz Abu A’la Maududi menyatakan :
                  “Perbuatan zina bertentangan dengan fitrah manusia, seperti kawin, hidup berdampingan, saling menyayangi dan tinggal bersama keluarga. Seorng pezina akan terbiasa mencicipi dan menukar-nukar (wanita dan laki-laki), hal ini sangat bertolak belakang dengan hubungan suami istri yang ideal. Hubungan yang tidak legal tidak akan menimbulkan rasa kasih sayang, kepercayaan, ketenangan, dan kebahagiaan.[54]

            d)   Menurut akhlak
                              Di antara fenomena keruntuhan akhlak akibat kebebasan seks adalh menonjolnya tabiat hewani seseorang, menyebarnya sifat egoisme dan sifat masa bodoh tanpa batas. Semua fenomena tersebut secara khusus terlihat ada batasnya. Kebiasaan berhubungan layaknya suami istri sudah menjadi jadwal harian. Pada lahirnya aborsi dilakukan tanpa ada rasa menyesal dan niat untuk menjauhi perbuatan zina.
            e)   Keserakahan seks dan keonaran dalam suatu masyarakat, secara spontan disertai dengan tersebarnya kemewahan, kemubadzirn dan penghamburan kekayaan yang mempunyai dampak sangat jelek terhadap masyarakat.[55] Sebab sumber daya yang sebenarnya dapat dimanfaatkan di sektor lain yang lebih berguna, dialihkan untuk memenuhi nafsu seksual, sehingga secara tidak langsung kebiasaan tersebut akan berakibat pada kemelaratan masyarakat sendiri.
      5.   Upaya –Upaya Menghindari Zina
                        Telah disebutkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar dalam pandangan Allah selain zina dan benih yang ditanamkan di dalam rahim seorang wanita yang bukan haknya, yakni melalui perzinaan. Namun ketentuan tersebut agaknya semakin diabaikan oleh orang-orang yang tidak memiliki kesempurnaan akhlak. Hal ini terbukti dengan sekian banyaknya praktek-praktek perzinaan yang dilakukan tanpa melihat tempat dan waktu. Fenomena tersebut akan semakin merajalela apabila tidak diberikan dan pencegahan sejak dini. Beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk menghindari perzinaan antara lain :
            a.   Menjauhi perbuatan yang mengantarkan pada perzinaan
                              Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Isra’ 32 yang berbunyi :
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ 

                   “Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.[56]

                              Ayat tersebut menunjukkan keharaman mendekati zina. Maka larangan tersebut untuk melindungi manusia dari kecelakaan dan kerusakan yang ditimbulkan akibat perzinaan. Mendekati zina maksudnya adalah mendekati perbuatan-perbuatan yang pada perzinaan, misalnya berpandangan, berduaan, bergandengan tangan, berpacaran, berciuman, dan lain sebagainya (Al Mukafi, 2003). Selain itu perbuatan yang termasuk mendekati zina antara lain membuka aurat, hidup membujang, bergaul bebas dengan lawan jenis, melihat film porno, mendengarkan musik-musik porno dan lain sebagainya.
            b.   Memperbanyak ibadah
                              Pelaksanan ibadah secara rutin akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap akhlak dan kepribadian seseorang. Ibadah akan menumbuhkan kekuatan moral pada diri seseorang sehingga ia menjadi tuan terhadap nafsunya dan bukan menjadi budak atas hawa nafsunya. Ibadah tersebut antara lain shalat, puasa, dzikir, dan lain-lain. Hal ini disebutkan Rosululloh dalam hadits beliau, yaitu :
حَدَّثَنَا عُمَر ابْنُ حَفْصٍ قَالَ : قَالَ النَّبِي صَلىَ الله عَليْه وَسَلّم : يَامَعْشَرَ الشَّبَاب مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّج  فَإنَه اغَضُّ لِلْبَصَر وَاحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَهُ لَهُ وِجَاءٌ (رواه البخاري)
                  “Menceritakan pada kami Umar bin Hafs, menceritakan kepda kami Al A’msy, berkata menceritakan kepadaku Ibrohim dari Ustman berkata, kepadaku Nabi SAW wahai para pemuda barang siapa diantara kalian yng sudah mampu untuk memberi nafkah baik lahir maupun batin, maka menikahlah karena dengan menikah dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu memberikan nafkah tersebut maka berpuasalah, karena dengan berpuasa akan dapat menjadi perisai bagi kalian”.(HR. Bukhari)[57]

                              Berpuasa memberikan manfaat yang besar bagi remaja yang melakukannya. Manfaat tersebut antara lain dapat meminimalisir tekanan nafsu syahwat yang ada di dalam diri karena nafsu syahwat timbul dari banyaknya makan minum yang dikonsumsi. Selain itu, dengan melakukan puasa dapat mengangkat derajat yang tinggi di sisi Allah Yang Maha Kuasa dan menjauhkan diri dari tipu daya setan. Puasa di sini maksudnya adalah yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, yakni puasa makan, minum, menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan (syahwat) dengan niat untuk mendekatkan diri pada Allah.[58] Bukan puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga saja. Selain puasa, ibadah lain pun akan memberikan dampak yang sama apabila dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridho Allah SWT.
            c.   Memberikan pendidikan seksual
                              Menurut Profesor Gawshi pendidikan seksual dilakukan untuk memberikan pengetahuan yang benar kepada anak sehingga bisa beradaptasi secara baik dengan sikap-sikap  seksual dan yang menyebabkan anak memperoleh kecenderungan logis yang benar terhadap masalah-masalah seksual dan reproduksi.[59] Dengan mengetahui pendidikan seksual, seseorang akan lebih menjaga kepribadian individu dan penyimpangan dan kekacauan seksual dalam kehidupannya.[60] Selain itu dengan memberikan pendidikan seksual, nafsu syahwat dapat diarahkan dengan baik sehingga mampu menghindarkan seseorang dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah.
            d.   Menyibukkan diri dengan melakukan aktivitas
                              Menurut Nabil Hamid Al Ma’az sesuatu yang dapat menghindarkan seseorang dari perbuatan zina adalah menyibukkn diri dengan memperbanyak aktivitas, misalnya menekuni salah satu kesenangannya dengan menyalurkan hobi berolah raga, berdiskusi, mempelajari ilmu pengetahuan dan memperbanyak wawasan keagamaan.[61] Karena menyibukkan diri dengan melakukan aktivitas dapat mengalihkan nafsu syahwat yang sedang bergejolak menjadi sumber kegiatan dan ibadah yang bermanfaat.
            e.   Melakukan pernikahan dini
                              Pernikahan yang dilakukan pasangan yang ada di bawah batas minimum pernikahan biasanya disebut dengan pernikahan dini. Pernikahan dini adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dilakukan di bawah batas minimal usia pernikahan menurut undang-undang.
                              Dilihat dari sisi psikologi, tingkat kedewasaan seseorang yang melakukan pernikahan dini masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari usia mereka yang berada di bawah 16 tahun. Pada usia tersebut, kedewasaan seseorang masih di bawah standar. Seseorang dianggap dewasa apabila dia sudah mampu mengemban tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
                              Islam tidak melarang seseorang melakukan pernikahan dini. Hal ini telah dilakukan oleh Rosululloh ketika menikah dengan Siti Aisyah ketika itu masih berumur 6 tahun, jauh dari usia baligh dan usia yang syaratkan menjalani pernikahan pada saat itu. Sehingga pernikahan dini bukan merupakan hal yang baru dalam dunia Islam.

BAB III
SUMBER DATA

A.    Sumber Data
  1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian
a.       Keadaan Geografis dan Demografis
Desa Tidu Kecamatan Pojentrek Kabupaten Pasuruan adalah merupakan dataran rendah yang mempunyai ketinggian 6 meter dari permukaan laut, curah hujannya adalah 10917 MM/Th, sedangkan suhu rata-rata pertahun maksimum 30o C. Desa Tidu  Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan yang mempunyai luas daerah/ desa 109249 Ha. Dan mempunyai batas-btas wilayah adalah sebagai berikut
Sebelah Utara        : Desa Sukorejo
Sebelah Selatan     : Desa Dhopo
Sebelah Barat        : Desa Sungi Wetan
Sebelah Timur       :  Desa Paras Rejo
Adapun Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan yang luasnya 108.249 Ha, ternyata mempunyai jumlah penduduk yang cukup padat yaitu : 4566 jiwa yang terdiri dari : jenis laki-laki 2.301 jiwa dan jenis perempuan 2265 jiwa.
38
 
Dari semua jumlah penduduk yang ada di Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan tersebut semua adalah penduduk pribumi yakni asli keturunan Warga Negera Indonesia. Jumlah penduduk yang ada di Desa Tidu Kecamatan Pohjetrek Kabupaten Pasuruan dapat dibedakan menurut usia yaitu kelompok pendidikan dan kelompok tenaga kerja untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1
Jumlah Penduduk Menurut Usia
No
Kelompok Usia
Frekuensi (Jiwa)
Prosentase
1
00 – 03 Tahun
381
8 %
2
04 – 06 Tahun
136
3 %
3
07 – 15 Tahun
646
14 %
4
15 – 56 Tahun
3038
67 %
5
>56 Tahun
365
9 %
Sumber diambil dari data penduduk menurut usia Desa Tidu, Bulan Agustus 2009
Tabel 2
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja
No
Kelompok Usia
Frekuensi (Jiwa)
Prosentase
1
10 – 14
24
0,8 %
2
15 – 19
231
0,6 %
3
20 – 26
648
22 %
4
27 – 40  
1018
35 %
5
41 - 56
891
30 %
6
>57
75
2 %
Sumber diambil dari data penduduk menurut kelompok tenaga kerja Desa Tidu, Bulan Agustus 2009

Ada dua tabel diatas dapat dipahami bahwa pada tabel pertama menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang ada di Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan mayoritas berusia 15 – 56 tahun. Sedangkan pada tabel yang kedua dijelaskan bahwa dari jumlah penduduk 4566 jiwa di Desa Tidu tersebut hanya 440 jiwa yang mempunyai pekerjaan tetap.
b.      Keadaaan Sosial Ekonomi
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan banyak sekali usaha atau aktivitas yang mereka lakukan untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, untuk lebih jelasnya tentang keadaan sosial ekonomi bisa dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3
Mata Pencaharian Penduduk
Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan
No
Kelompok Usia
Frekuensi (Jiwa)
Prosentase
1
Karyawan
246
20 %
2
Wiraswasta
24
2 %
3
Petani
123
10 %
4
Pertukangan
180
15 %
5
Buruh tani
146
12 %
6
Pensiunan
21
1 %
7
Nelayan
-
0 %
8
Pemulung
1
0,001 %
9
Jasa
440
37 %
10
Lain-lain
-
0
Sumber diambil dari data mata pencaharian penduduk Desa Tidu, Bulan Agustus 2009
Dari tabel tersebut diatas dapat dipahami bahwa mata pencaharian penduduk Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan adalah beraneka ragam, mulai buruh tani sampai karyawan di Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan ini masih banyak penduduk atau jiwa yang masih belum bekerja atau belum mempunyai pekerjaan tetap. Hal ini terbukti bahwa dengan adanya warga yang belum punya pekerjaan atau pengangguran.
c.       Keadaan Sosial Pendidikan
Ditinjau dari segi penduduk yang ada dan wilayah Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan maka pendidikan yang ada serta jumlah lulusannya. Untuk lebih jelasnya masing-masing variabel dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4
Jumlah Sarana dan Prasarana
No
Sarana
Jumlah Sarana
Jumlah Siswa
Jumlah Guru
1
Pendidikan Umum



a
PAUD
2
87
4
b
TK
1
80
3
c
SD/ MI
2
633
28
d
SLTP/ MTs
1
130
19
e
SLTA/ MA
1
111
15
f
AKADEMI
-
-
-
g
INSTITUT/ UNIVERSITAS
-
-
-
2
Pendidikan Umum



a
Pondok Pesantren
-
-
-
b
Madrasah Diniyah
2
300
25
c
SLB
-
-
-
d
Sarana Latihan Formal
-
-
-

Tabel 5
Jumlah Pendidikan Menurut Tingkatan
No
Lulusan Pendidikan
Jumlah
1
Pendidikan Umum
3490
2
Pendidikan Khusus
66

Dari data tabel tersebut di atas dapat dipahami bahwa sarana pendidikan dan prasarana pendidikan yang ada di Desa Tidu Kec. Pohjetrek Kab. Pasuruan cukup memadai bagi anak-anak yang masih     usia sekolah tingkat dasar sampai menengah keatas dan bagi mereka yang ingin melanjutkan study kejenjang berikutnya yakni kepeguruan tinggi dan mereka harus memantau ke darah lain atau ke kota lain.
d.      Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat
Dari seluruh Jumlah Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan murni memeluk agama suci sawawi yaitu agama Islam.

Tabel 6
Jumlah Sarana Peribadatan
No
Sarana Pendidikan
Jumlah
Keterangan
1
Masjid
2
Cukup
2
Musholla
20
Cukup
Sumber diambil dari data jumlah sarana peribadatan DesaTidu, Bulan Agustus 2009
Tabel 7
Jumlah Penduduk Menurut Agama Islam
No
Lulusan Pendidikan
Jumlah
1
Islam
4466
2
Kriten
-
3
Katolik
-
4
Hindu
-
5
Budha
-
6
Khong Hucu
-
Sumber diambil dari data jumlah penduduk menurut agama DesaTidu, Bulan Agustus 2009
Dari tabel diatas dapat dipahami bahwa mayoritas masyarakat Desa Tidu beragama Islam dan tidak ada satupun yang beragama non Islam.
Demikian juga yang terdapat di Desa Tidu, seluruh penduduknya beragama Islam, tetapi tidak semua orang memiliki semangat keberagaman yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari rutinitas pelaksanaan shalat lima waktu secara berjama’ah. Dari seluruh penduduk Desa Tidu, hanya  ± 85% yang melakukan shalat lima waktu secara berjama’ah. Selain itu jumlah tersebut pelaksanaan shalat hanya dilakukan pada hari atau saat-saat tertentu saja, misalnya bulan Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Selain itu, juga dapat dilihat dari rutinitas puasa wajib (puasa Ramadhan) yang bolong-bolong. Sering ditemui orang yang secara terus terang tidak melaksanakan ibadah puasa (hal ini dapat dilihat ketika sedang bekerja di sawah, bisaanya mereka membawa bontot (bekal makanan) dari rumah masing-masing).[62]
Di desa tidu juga terdapat beberapa sarana peribadatan, antara lain masjid dan mushalla. Sedangkan gereja, di desa tersebut belum tersedia.
Di Desa Tidu sarana peribadatan yang terdapat 2 Masjid dan 20 Musholla. Salah satu musholla digunakan untuk shalat dan TPQ, sedangkan yang lainnya hanya digunakan untuk shalat jamaah saja. Tidak banyak yang melakukan shalat jamaah di mushallah tersebut. Hanya orang yang rumahnya berdampingan dengan mushallah saya yang sering ikut berjamah shalat disana. Tetapi pada hari-hari tertentu mislanya shalat tarawih, hari raya dul fitri dan Idul Adha mushalla juga terlihat agar ramai.
B.   Prosesi Pengumpulan Data
Disini peneliti dalam mengumpulkan data melalui proses interviu dengan beberapa tokoh masyarakat desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan, setelah data diperoleh lalu dikaji dan dianalisa dengan menggambarkan kejadian yang berada dikalangan masyarakat setempat.
Gambar 1
Peneliti dengan Narasumber
Tokoh Agama Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan








Gambar 2
Peneliti dengan Narasumber
Kepala Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Psuruan
Gambar 3
Peneliti dengan Narasumber
Ketua RT Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan
Gambar 4
Peneliti dengan Narasumber
Bpk. Modin Desa Tidu Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan

Gambar 5
Peneliti dengan Narasumber
Kepala KUA Kec. Pohjentrek Kab. Pasuruan

BAB IV
PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA

A.    Penyajian Data
  1. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Akibat Perzinaan Menurut Tokoh Masyarakat Desa Tidu
Menikah sesungguhnya merupakan hal yang bisa dilakukan oleh seorang yang sudah dewasa. Hal ini terbukti dengan adanya ketentuan undang-undang yang memperbolehkan seorang menikah ketika dia sudah mampu mengemban tanggung jawabnya dengan baik. Sebuah fenomena yang berbeda ketika pernikahan tersebut dilakukan oleh remaja yang didahului dengan perbuatan tidak halal misalnya melakukan persetubuhan antara dua jenis kelamin yang berbeda diluar ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku. Pernikahan ini bisaanya dinamakan perkawinan akibat perzinaan. Demikian juga yang terjadi di Desa Tidu, mayoritas remaja (yang melakukan perkawinan akibat perzinaan) tidak memandang dampak setelah menjalani rumah tangga. Beberapa faktor terjadinya pernikahan akibat perzinaan, diantaranya:
  1. Kadar keimanan yang rendah
  2. 47
     
    Pergaulan bebas
  3. Tidak dapat restu orang tua
  4. Kurang adanya hukum dari pelaku
  5. Kurang adanya penyuluhan dari KUA setempat
  6. Rendahnya pendidikan Islam
Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan H.Romli (umur 47 tahun), salah satu tokoh masyarakat menyatakan bahwa : “Faktor penyebab terjadinya fenomena tersebut memang rata-rata tidak direstui dari kedua orang tuanya karena melihat berbagai hal yang dikhawatirkan dalam membangun rumah tangga, dimana yang laki-lakinya belum mempunyai pekerjaan tetap dan yang perempuan masih duduk di bangku sekolah. Kebanyakan yang dicari para pemuda-pemudi hanya kesenangan, orang tua pasti akan terkena akibatnya kalau anak tersebut sampai melakukan perzinaan, dan juga terdapat dampak-dampak terhadap keluarga, masyarakat, dan Negara”.[63]
Merespon faktor penyebab terjadinya fenomena tersebut, Abdul Qohar (67 tahun), salah satu tokoh agama di Desa Tidu mempendapat bahwa :
“Terjadinya fenomena perkawinan akibat perzinaan selain dari pihak orang tua, juga dari tingkat keagamaan pada masyarakat Desa Tidu sangat kurang, dan kegiatan peribadatan yang ada kurang begitu diperhatikan, misalnya dengan banyaknya musholla kurang begitu digunakan untuk berjama’ah oleh masyarakat, yang sudah remaja-remaja sudah malu mengikuti kegiatan pengajian, ada peringatan hari besar agama yang di isi dengan ceramah agama kurang merespon, sehingga dengan terlihatnya segala kegiatan yang kurang dilaksanakan untuk memupuk sebuah keimanan seseorang, dengan kadar keimanan yang rendah sehingga tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya”. [64]
Pendapat lain juga disampaikan oleh Ketua RW Desa Tidu, yakni Kartono (45 tahun) yang menyatakan bahwa :
“Dengan tingkat pendidikan yang rendah pada seseorang, maka pemikirannya sangat begitu kurang apalagi tidak adanya penyuluhan dari aparat yang berwenang tentang hukum perkawinan. Akhir-akhir ini telah ditemukan ±9 orang yang hamil diluar ikatan perkawinan. Apalagi di usia-usia remaja, keinginan untuk mengetahui segala sesuatu sangat tinggi termasuk masalah hubungan seksual. Jadi faktor terjadinya fenomena tersebut tidak adanya pemahaman tentang hukum khususnya hukum perkawinan. Dimana dalam undang-undang KHI begitu banyak ketentuan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan yang sah”[65]
Pernyataan tersebut  menunjukkan bahwa faktor terjadinya perkawinan akibat perzinaan menurut Kartono, karena kurang adanya penyuluhan Dari pihak aparat yang berwenang terhadap masyarakat yang sumber daya manusianya kurang. Sehingga ditemukan ±9 orang yang hamil diluar ikatan perkawinan. Denga melihat banyaknya fenomena tersebut dapat berdampak pada masyarakat yang lainnya.
Wawancara selanjutnya juga dilakukan dengan Kepala Desa Tidu yakni Abdullah (49 tahun) yang menyatakan bahwa :
 ‘Pernikahan yang dilakukan rata-rata karena alasan telah terjadi “kecelakaan” (hamil terlebih dahulu) dari faktor pergaulan bebas yang berdampak pada masa depan anak atas perbuatan orang tuanya. Dengan meliha keadaan seperti itu sehingga dapat terlaksananya perkawinan. Hal ini dilakukan karena hubungan seksual hanya dapat dilakukan dengan halal melalui pernikahan. Sebenarnya beda pernikahan dan perzinaan tidaklah jauh, tetapi efek yang ditimbulkan sangat besar sekali, beda pernikaha dan perzinaan hanya pada akadnya saja. Apa sih susahnya mengikrarkan akad nikah, kalau nafsu sudah tidak dapat ditahan ketimbang bermaksiat lebih lama dan sampai terjadi kehamilan seperti itu, menambah dosa dan malu saja kan?”[66]
 Selain itu, teraniaya anak-anak yang tidak berdosa akibat ulah orang-orang (orang tua yang melakukan perziaan) yang tidak bertanggung jawab, sehingga mereka terpaksa menyandang sebutan anak zina/ jadah.[67]
 Ustadz Abul A’la Maududi menyatakan :
“Perbuatan zina bertentangan dengan fitnah manusia, seperti kawin, hidup berdampingan, saling menyayangi dan tinggal bersama keluarga. Seorang pezina akan terbisa mencicipi dan menukar-nukar (Wanita dan laki-laki), hal ini sangat bertolak belakang dengan hubungan suami istri yang ideal. Hubungan yang tidak legal tidak akan menimbulkan rasa kasih sayang, kepercayaan, ketenangan, dan kebahagiaan”.[68]

Keserakahan seks dan keonaran dalam suatu masyarakat akibat perzinaan, secara spontan pasti dibarengi dengan tersebarnya kemewahan, kemubaziran dan penghamburan kekayaan yang mempunyai dampak sangat jelek terhadap masyarakat.[69]
  1. Pandangan Tokoh Masyarakat Terhadap Perkawinan Akibat Perzinaan
Sebenaranya, Islam membolehkan perkawin akibat perzinaan meskipun dalam keadaan hamil.
Pemaparan faktor penyebab terjadinya perkawinan akibat perzinaan menurut tokoh masyarakat, telah dijelaskan diatas. Berawal dari banyaknya dampak akibat perbuatan zina, terdapat kemungkinan pandangan yang tidak sependapat dengan pendapat yang membolehkan perkawinan akibat perzinaan. Pada sub ini akan dipaparkan tentang pandangan tokoh masyarakat terhadap perkawinan akibat perzinaan.
Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan Sugeng (47 tahun), selaku Ketua RT di Tidu tersebut berpendapat bahwa :
“Perkawinan yang didahului dengan perbuatan zina saya kira sebuah perkawinan yang tidak harmonis”[70]

Pernyataan ini menunjukkan bahwa perkawinan akibat perzinaan adalah yang tidak aman bagi seseorang dari bahaya perzinaan. Karena dengan perzinaan hubungan antara laki-laki dan perempuan telah diharamkan, sehingga dengan perzinaan tersebut secara biologis, psikologis, pedagogis akan mempengaruhi individual, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Merespon haramnya perkawinan dalam keadaan hamil karena zina. Abdul Qohar (67 tahun), salah satu Tokoh Agama di Tidu  menyatakan bahwa :
“Menurut saya perkawinan yang dilakukan oleh wanita hamil akibat perziaan dan dengan orang yang menghamilinya bahwa boleh melakukan pernikahan, karena pernah saya temukan di dalam kitab fiqih jika masa kandungan berumur 2 bulan yang masih berbentuk darah, bahwa perkawinannya sah”.[71]
Dari pernyataan diatas dapat diketahui bahwa perkawinan tersebut dinyatakan sah karena dengan dilakukannya akad nikah dan sebaliknya perkawinan tersebut dinyatakan haram karena kandungan yang ada pada wanita itu tidak sah keturunnya.
Wawancara selanjutnya dilakukan terhadap Kepala Desa Tidu Abdullah (49 tahun), menyatakan bahwa :
“Dengan melihat keadaan yang sudah terlanjur hamil akibat perbuatan zina yang belum adanya pernikahan yang sah, bisaanya juga mengalami ketergangguan pada mental dengan penyesalan yang telah ia perbuat, sehingga engan melihat keadan seperti itu untuk dapat diketahui silsilah keluarga dari ayah yang sebenarnya, maka sebuah perkawinan boleh segera dilaksanakan”.[72]

Menurut pemaparan diatas dapat diketahui bahwa perkawinan akibat perzinaan boleh dilakukan karena menurut Kepala Desa, melihat keadaan yang sudah terlanjur hamil dan status anak yang tanpa bapak.
Selain itu juga dilakukan wawancara kepada Kepala KUA Pohjentrek yakni Choiriman menyatakan bahwa :
“Sebenarnya perkawinan akibat perzinaan pada tahun 70 an, dilarang untuk dilakukannya, tetapi setelah adanya KHI pasal 53 ayat 1 tentang wanita hamil dinyatakan bahwa seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Dan juga tidak harus menunggu terlebih dahulu dengan kelahiran anaknya, pernyataan ini juga telah tercantum dalah KHI pasal 53 ayat 2. Sehingga saya sebagai petugas pencatat nikah dengan melihat undang-undang yang sudah ada ketentuannya, pernah menikahkan wanita dalam keadaan hamil akibat zina”.
Menurut Depag, bahwa ketentuan hukum sama sekali tidak berani melegalisir perbuatan zina yang telah diperbuat oleh yang bersangkutan sebagai perbuatan yang dihalalkan atau diperbolehkan karena hukum menyatakan bahwa perbuatan dan segala akibat perzinahan itu tetap dipandang tidak sah menurut hukum sebagaimana dinyatakan dalam KHI pasal 99 yang berbunyi: “Anak yang syah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang syah”. [73]
Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa pihak KUA dalam melaksanakan perkawinan akibat zina yang dalam keadaan hamil dapat dilakukan dengan ketentuan KHI pasal 53 ayat dan 2, dan dengan ketentuan hukum tersebut Depag tidak berani melegalisir perbuatan zina oleh yang bersangkutan.
  1. Upaya Tokoh Masyarakat Dalam Menghadapi Fenomena Perkawinan Akibat Perzinaan
Pernikahan sesungguhnya mempunyai makna yang sangat mulia karena dilakukan untuk menghindari perzinaan. Dan atas dasar sebuah tekad yang bersumber dari kesadaran menegakkan hukum Islam dan dengan landasan fisabilillah untuk menghindari jalan setan. Pernikahan yang dilakukan karena adanya kekhawatiran terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, seperti perzinaan dan hamil diluar nikah karena pergaulan bebas telah mempengaruhi kehidupan dan tingkah laku semua orang dan tidak terkecuali kaum remaja.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan di Desa Tidu Kecamatan Pohjentrek Kabupaten Pasuruan, menyatakan Upaya Tokoh Masyarakat Dalam Menanggulangi Fenomena Perkawinan Akibat Perzinaan sudah di lakukan salah satunya dengan mengadakan penyuluhan terhadap orang tua.
Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan Sugeng (47 tahun), salah satu Tokoh Masyarakat Desa Tidu tersebut yang berpendapat bahwa:
“Menikah adalah salah satu cara untuk memperbaiki atau menghalalkan adanya hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kalau hal itu tidak dilaksanakan, sedangkan hubungannya sudah erat dan telah tertanam rasa saling mencintai, dan tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya. Sehingga untuk menanggulanginya atau menghindari terjadinya perbuatan yang tidak halal tersebut, perlu adanya penanganan, misalnya melakukan penangkapan kepada yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, dan tindakan yang dilakukan dengan penangkapan itu setelah laporan dari warga bahwa ada seseorang yang telah hamil akibat perzinaan dan lalu saya dan warga setempat menangkap dengan paksa di tempat mereka bertemu untuk mempertanggung jawabkan atas perbuatannya itu. Selain itu juga berupaya agar tidak terjadi alternatif yang lain saya kira sulit. Alternatif bekerja atau menyibukkan diri misalnya, bisa saja dilakukan tidak akan maksimal karena yang namanya hawa nafsu ketika sudah memuncak sulit dikendalikan hanya dengan bekerja atau menyibukkan diri.”[74]

Dari pernyataan di atas bahwa upaya yang dilakukan dalam mengahadapi perkawinan akibat perzinaan, dengan melakukan peangkapan yang pada awalnya ada laporan dari warga bahwa ada seseorang yang telah hamil akibat perzinaan dan lalu saya dan warga setempat menangkap dengan paksa  di tempat mereka bertemu untuk mempertanggung jawabkan atas perbuatanya itu. Selain itu juga berupaya agar tidak terulang lagi, sengan mengalihkan perzinaan yaitu dengan alternatif bekerja atau menyibukkan diri, hal itu sulit dilakukan karena hawa nafsu tidak memandang waktu dan bekerja hanya terbatas pada waktu tertentu saja.
Menurut Al Ma’az, sesuatu yang dapat menghidari diri dari perbuatan zina adalah menyibukkan diri sengan memperbanyak aktivitas, misalnya menekuni salah satu kesenangannya dengan menyalurkan hobi seperti bekerja, berolahraga, berdiskusi, mempelajari ilmu pengetahuan dan memperbanyak wawasan keagamaan.[75] Karena menyibukkan diri dengan melakukan aktivitas dapat mengalihkan nafsu syahwat yang sedang bergejolak menjadi sumber kegiatan dan ibadah yang bermanfaat.
Namun menurut Sugeng, menghindari perzinaan dengan menyibukkan diri melakukan pekerjaan yang digeluti belum dapat menghindari seseorang dari perzinaan. Hal itu bisa saja dilakukan tetapi tidak menghindari perzinaan secara maksimal karena nafsu seksual itu dapat timbul kapanpun dan dimanapun sedangkan bekerja hanya dalam beberapa waktu saja. Apabila nafsu seksual timbul pada waktu melakukan aktivitas atau bekerja, mungkin perzinaan dapat segera dihindari dengan menyibukkan diri dari pekerjaan tersebut. Tetapi ketika nafsu seksual timbul pada waktu tidak melakukan aktivitas apa-apa maka kesempatan terjerumus pada lembah perzinaan semakin besar,
Merespon upaya agar tidak terjadi lagi fenomena tersebut, menghindari perzinaan dengan alternatif bekerja dan menyibukkan diri, Choiriman (57 tahun), Kepala KUA Pohjentrek  menyatakan bahwa :
“Pemuda pemudi disini, pergaulan bebasnya sangat menghawatirkan bagi orang tua. Tetapi tidak harus memilih menikahkan anaknya yang dalam usia dini, karena memang perzinaan yang telah terjadi banyak sekali, sehingga saya berupaya dengan melakukan penasehatan terhadap orang tua. Kalau seandainya untuk menghindari perzinaan melakukan penyuluhan masalah Agama dengan puasa yang dijadikan alternatif menghindari anak dari perzinaan saya kira sulit dilakukan karena untuk melaksanakan solat dan puasa wajib saja sulit apa lagi untuk puasa sunat. Tetapi hal itu tergantung dari imannya, meskipun tidak puasa kalau imannya kuat pasti mampu menghindari perzinaan ketika nafsunya memuncak kalau imannya lemah alternatif apa yang bisa menyelamatkan anak tersebut selain dari pernikahan.”[76]

Dari pernyataan di atas dapat diketahui bahwa perkawinan akibat perzinaan memang banyak terjadi di Desa tersebut. Alasan yang muncul kebanyakan adalah adanya kekhawatiran orang tua dan untuk menghindarkan anak dari bahaya perzinaan. Choiriman menyatakan bahwa pergaulan pemuda pemudi sangat memperhatinkan.
Pendapat lain juga disampaikan oleh Kepala Desa Tidu, Yakni Abdull (49 tahun) yang menyatakan bahwa :
“Perkawinan akibat perzinaan banyak terjadi di Desa Tidu, hal ini didukung oleh banyaknya perzinaan yang ada. Dan akhir-akhir ini telah ditemukan ± 9 orang yang hamil di luar ikatan pernikahan. Apalagi di usia-usia remaja, keinginan untuk mengetahui segala sesuatu sangat tinggi termasuk masalah hubungan seksual. Sehingga untuk memenuhi keinginan tersebut jalan yang paling mudah, aman dan di halalkan oleh agama adalah pernikahan. Dan upaya dalam menghadapi perkawinan akibat perzinaan menghimbau para aparat bawahan saya agar tidak menjadi saksi, sedangkan upaya agar tidak terjadi lagi dengan alternatif mengihindari perzinaan seperti belajar atau melanjutkan sekolah, itu hanya dapat mengurangi saja tidak sampai dalam taraf menghindarkan. Karena timbulnya hawa nafsu bisa kapan saja.”[77]

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa alasan memilih nikah sirih untuk menghidari perzinaan menurut pandangan Agus, karena pernikahan merupakan jalan yang paling mudah, aman, dan halal melakukan hubungan seksual. Tetapi tidak boleh dilaksanakan di lingkungan Desa saya. Sedangkan untuk alternatif yang lain yakni menyibukkan diri dengan belajar atau melanjutkan sekolah, memang dapat dilakukan akan tetapi hanya mengurangi terjadinya perzinaan saja tidak sampai dalam taraf menghindari seseorang dari perzinaan. Hal ini disebabkan karena timbulnya hawa nafsu itu bisa kapan saja. Selain itu juga sering kali ditemukan anak sekolah yang telah hamil sebelum melakukan pernikahan. Sehingga menurut Agus, mengalihkan hawa nafsu saja tanpa menyalurkan nafsu tersebut belum bisa dijadikan alternatif  untuk menghindari seseorang dari perzinaan.
Agus juga menyatakan bahwa perzinaan yang terjadi memang banyak tetapi hal itu sulit dibuktikan sendiri tanpa mendatangkan saksi. Tetapi adanya praktek perzinaan di Tidu tersebut dapat dilihat dari kehamilan seseorang di luar ikatan nikah. Sampai penelitian dilakukan telah ditemukan ± 9 orang yang hamil di luar ikatan pernikahan. Agus juga menyatakan bahwa usia merupakan masa dimana keinginan untuk mengetahui bahwa usia sesuatu sangat tinggi termasuk masalah hubungan seksual. Sehingga untuk memenuhi keinginan tersebut jalan yang paling mudah, aman dan dihalalkan oleh Agama adalah pernikahan. Sedangkan untuk alternatif yang lain seperti belajar atau melanjutkan sekolah, menurut Agus, hanya dapat mengurangi saja tidak sampai dalam taraf menghindarkan karena timbulnya hawa nafsu itu bisa kapan saja.
Wawancara selanjutnya juga dilakukan dengan Bapak Modin Desa Tidu (47 tahun), yang menyatakan bahwa :

“Perkawinan akibat perzinaan yang dilakukan rata-rata karena alasan telah terjadi “kecelakaan” (hamil terlebih dahulu) itu saya mengetahui dari para modin yang mendaftarakan nikah warganya dan saya berupaya tetap melaksanakan karena ketentuan kawin hamil telah tercantum dalam KHI pasal 53 dan untuk berupaya agar tidak terjadi lagi, dengan mengadakan penyuluhan tentang dampak-dampak melakukan perzinaan. Sebenarnya beda pernikahan dan perzinaan tidaklah jauh, tetapi efek yang ditimbulkan sangat besar sekali, beda perikahan dan perzinaan hanya pada akadnya saja. Apa sih susahnya mengikrarkan akad nikah, kalau nafsu sudah tidak dapat ditahan ketimbang bermaksiat lebih lama dan sampai terjadi kehamilan seperti itu, menambah dosa dan malu sajakan?” [78]

Pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa upaya menghadapi fenomena tersebut kami sebagai pencatat nikah dengan mengetahui informasi dari para modin sehingga saya juga telah berpegangan pada KHI pasal 53 bahwa boleh menikahkan dalam keadaan hamil. Untuk menghindari perzinaan menurut pandangan Kepala Desa, karena hubungan seksual hanya dapat dilakukan dengan halal melalui pernikahan saja, dan dengan puasa apabila ia tidak mampu menahan, bekerja dan lain sebagainya. Sedangkan memperlambat pernikahan ketika hawa nafsu telah memuncak hanya akan menambah kemaksiatan dan dosa saja.
Sebagaimana yang disyaratkan dalam Islam bahwa pernikahan adalah suatu akad atau perserikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan kehidupan keluarga, meliputi rasa tentram serta kasih sayang yang diridhoi Allah. Dan menurut Undang-Undang pernikahan No.1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga dengan adanya ikatan pernikahan tersebut nafsu  dapat disalurkan secara halal dan secara tidak langsung dapat menghindarkan perbuatan seseorang dari dosa dan kemaksiatan.
Karena pernikahan merupakan suatu aktivitas antara pria dan wanita yang mengadakan ikatan lahir dan batin untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka dibutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, sehingga tercapai sesuatu yang diharapkan.
Sesungguhnya berpuasa memberikan manfaat yang besar bagi seseorang yang melakukannya. Manfaat tersebut antara lain dapat meminimalisir tekanan nafsu syahwat yang ada di dalam dirinya karena nafsu syahwat timbul dari banyaknya makan dan minum yang dikonsumsi. Selain itu, dengan melakukan puasa dapat mengangkat derajat yang tinggi di sisi Allah Yang Maha Kuasa dan menjauhkan diri dari tipu saya syetan. Puasa di sini maksudnya adalah puasa makan, minum, menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan (syahwat) dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bukan puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga saja. Selain melakukan puasa, sesungguhnya ibadah lainpun memberikan dampak yang sama apabila dilakukan dengan ikhlas, mengharap ridho Allah SWT. Sehingga ketika seseorang mengatakan bahwa dengan melakukan ibadah belum bisa meminimalisir hawa nafsu sari berbuat maksiat, berarti bukan ibadahnya yang salah tetapi pelaksanaannya yang tidak sepenuhya dilakukan karena mengharap ridha dari Allah SWT.
B.       Analisis Data
Setelah melihat data di atas, peneliti akan memperluas gambaran tentang pendapat para tokoh masyarakat tentang perkawinan akibat perzinaan. Dari pernyataan di atas, bahwa perkawinan yang di dahului dengan adanya perzinaan yang awalnya rata-rata tidak disetujui oleh orang tuanya atas perbuatannya yang sudah erat itu, dan perzinaan yang merupakan perbuatan yang sangat berat hukumannya karena menimbulkan dampak yang begitu baik terhadap individu yang melakukan perzinaan maupun masyarakat sekitarnya.
Menurut Nuryadi seseorang yang melakukan perzinaan akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga. Perzinaan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga akan menanggung beban yang begitu berat. Apalagi kalau perzinaan tersebut mengakibatkan kehamilan, maka nama baik keluarga akan terancam dengan hadirnya anggota keluarga baru yang tidak memiliki orang tua secara lengkap (ayah).
Namun menurut Sugeng, dengan tidak direstuinya hubungan anaknya yang sudah saling mencintai, yang dicari hanya kesenangan dan tidak memikirkan dampak yang akan dihadapi  terhadap pembentukan sebuah keluarga.
Juga salah satu faktor terhindar dari zina diketahui bahwa sebuah kadar keimanan yang dapat mengontrol atau mengendalikan hawa nafsu seseorang. Sehingga dengan kadar keimanan yang rendah akan adanya kekhawatiran orang tua dalam menikahkan anaknya yang sudah remaja akan mengakibatkan perzinaan.
Menurut Abdul Qohar, dengan kadar keimanan yang tinggi maka nafsu syahwat dan segala perbuatan yang dilarang agama pasti dapat dihindari, termasuk juga menghindari diri dari perzinaan.
Juga slah satu faktor terjadinya perkawinan akibat perzinaan, karena pergaulan bebas yang menyebabkan hamil terlebih dahulu, sehingga perkawinan yang dilakukan diluar aturan agama, tidak adanya akad nikah setelah melakukan perbuatan perzinaan, yang berdampak pada keturuanan, dan juga menurut Agus untuk menentukan silsilah keluarga dari pihak ayah.
Sesungguhnya perzinaan akan membawa dampak yang sangat besar. Seorang yang melakukan perzinaan akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga. Perzinaan yang dilakukan oleh salah satu anggota keluarga akan menanggung beban yang begitu berat. Apalagi kalau perzinaan tersebut mengakibatkan kehamilan, maka nama baik keluarga akan terancam dengan hadirnya anggota keluarga baru yang tidak memiliki orang tua secara lengkap (ayah).
Tidak dapat disangkal, bahwa adanya perbuatan zina pasti akan mengakibatkan lahirnya anak-anak haram. Kekerasan dan kekejaman biasanya akan menimpa anak-anak tersebut, yang selanjutnya akan merusak peradaban secara umum. Selain itu dengan adanya perbuatan zina, maka ada pula prositusi dan wanita jahat yang merupakan kalangan sangat terhina dan tercela dalam masyarakat. Hal ini betul-betul merupakan hal yang bertentangan dengan keadilan dan persaudaraan dalam masyarakat
Tidak dapat disangkal, bahwa adanya perbuatan zina pasti akan mengakibatkan lahirnya anak-anak haram. Kekerasan dan kekejaman biasanya akan menimpa anak-anak tersebut, yang selanjutnya akan merusak peradaban secara umum. Selain itu dengan adanya perbuatan zina, maka ada pula prositusi dan wanita jahat yang merupakan kalangan sangat terhina dan tercela dalam masyarakat. Betul merupakan hal yang bertentangan dengan keadilan dan persaudaraan dalam masyarakat, namun sebagai evek jera terhadap para pelaku agar tidak terjadi lagi.
Sedangkan upaya yang dilakukan dalam mengceggah  perkawinan akibat perzinaan, dengan melakukan peangkapan yang pada awalnya ada laporan dari warga bahwa ada seseorang yang telah hamil akibat perzinaan dan lalu saya dan warga setempat menangkap dengan paksa  di tempat mereka bertemu untuk mempertanggung jawabkan atas perbuatanya itu. Selain itu juga berupaya agar tidak terulang lagi, sengan mengalihkan perzinaan yaitu dengan alternatif bekerja atau menyibukkan diri, hal itu sulit dilakukan karena hawa nafsu tidak memandang waktu dan bekerja hanya terbatas pada waktu tertentu saja.
Karena menyibukkan diri dengan melakukan aktivitas dapat mengalihkan nafsu syahwat yang sedang bergejolak menjadi sumber kegiatan dan ibadah yang bermanfaat.
Upaya agar tidak terjadi lagi perzinaan dengan mengadakan penyuluhan tentang masalah keagamaan seperti puasa untuk menghindarkan anak dari perzinaan bisa saja dilakukan, akan tetapi hal itu tergantung dari keimanan masing-masing pihak. Meskipun tidak puasa kalau imannya kuat pasti mampu menghindari perzinaan tetapi kalau keimananya lemah alternatif yang paling aman dilakukan adalah menikah.
Pelaksanaan ibadah apapun yang dilaksanakan secara rutin dan baik, akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap akhlak dan pribadi sesorang yang melakukannya. Ibadah akan menumbuhkan kekuatan moral dalam diri seseorang sehingga ia dapat menjadi tuan terhadap nafsunya dan bukan menjadi budak atas nafsu tersebut. Ibadah itu antara lain shalat, puasa, dzikir dan lain-lain. Berpuasa memberikan manfaat yang besar bagi seseorang yang melakukannya. Manfaat tersebut antara lain dapat meminimalisir tekanan nafsu syahwat yang ada di dalam dirinya. Hal ini terjadi karena nafsu syahwat timbul dari banyaknya makan dan minum yang konsumsi. Selain itu, dengan melakukan puasa dapat mengangkat derajat yang tinggi di sisi Allah Yang Maha Kuasa dan menjauhkan diri dari tipu daya syaitan. Puasa di sini maksdunya adalah puasa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, yakni puasa makan, minum, menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan (syahwat) dengan niat untuk mendekatkan diri pada Allah. Bukan puasa yang hanya menahan lapar dan dahaga saja. Selain melakukan puasa, sesungguhnya ibadah lainpun memberikan dampak yang sama apabila dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridho Allah SWT.
Menurut Abdul Qohar, puasa sulit dilakukan oleh masyarakat tersebut, karena percuma saja seseorang melakukan ibadah tetapi keimannya lemah maksudnya melakukannya tapa diikuti dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Tetapi apabila puasa yang dilakukannya tersebut sesuai dengan ketentuan syariat, yakni puasa makan, minum, menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan (syahwat) dengan niat mendekatkan diri pada Allah, bukan puasa yang hanya menahan lapar
 dan dahaga saja, maka nafsu syahwat dan segala perbuatan yang dilarang Agama pasti dapat dihindari, termasuk juga menghindari diri dari perzinaan.
Di Indonesia sedikit banyak pendapat ulama-ulama tersebut diatas masih berpengaruh terhadap pola pikir umat Islam untuk menentukan hukum, sehingga masih selalu tumbuh perbedaan-perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan mengharamkan ini ada juga yang tidak konsisten dengan pendapatnya yakni kebiasaan mereka terpaksa menikahkannya hanya untuk menutup malu dengan syarat setelah menikah belum boleh campur sebagai suami istri, dan setelah anaknya lahir pernikahannya harus diulangi. Pendapat ini agak sulit dipahami sebab bila ia berpendapat haram maka semestinya jangan dilaksanakan perkawinan itu walaupun harus menanggung malu dan sebaliknya bila hendak dilaksanakan pernikahan itu yang berarti boleh (tidak haram) maka ketentuan tidak boleh campur dulu dan harus menikah ulang itu tidak perlu diadakan. Inilah keadaan hukum dalam masyarakat Islam Indonesia, walaupun agak sulit diterima oleh logika hukum, tapi inilah yang hidup di kalangan masyarakat.

                                BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sebagai kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1.      Faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan akibat perzinaan
a.       Kadar keimanan yang rendah
b.      Pergaulan bebas
c.       Tidak dapat restu orang tua
d.      Kurang adanya kesadaran hukum dari para pelaku
e.       Kurang adanya penyuluhan hukum dari pihak KUA setempat.
2.      Pandangan tokoh masyarakat terhadap fenomena perkawinan akibat perzinaan di antaranya :
a.       Perkawinan akibat perzinaan adalah aman bagi seseorang dari perzinaan. Karena dengan perzinaan hubungan antara laki-laki dan perempuan itu diharamkan, sehingga dengan perzinaan tersebut secara biologis, psikologis akan mempengaruhi individual, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
b.      Perkawinan tersebut dinyatakan sah karena dengan dilakukannya akad nikah.
c.      
66
 
Perkawian tersebut boleh dilakukan karena melihat keadaan yang sudah terlanjur hamil dan status anak yang tanpa bapak.
3.      Upaya-upaya tokoh masyarakat dalam menanggulangi agar tidak terjadi lagi perkawinan akibat perzinaan diantaranya :
a.       Mengadakan  peluang aktivitas-aktivitas, membuka lapangan kerja baru.
b.      Mengadakan penyuluhan masalah agama
c.       Mengadakan penyuluhan tentang dampak-dampak akibat perzinaan

B.     Saran-Saran
1.      Kepada para pemuda pemudi hendaknya berfikir panjang, janganlah hanya menuruti keinginan yang tanpa dilandasi dengan pemikiran dan pertimbangan yang matang sehingga melakukan hal-hal yang sifatnya negatif.
2.      Besar harapan penulis aparat Negara untuk mencarikan jalan keluar demi mengurangi prosentase budaya negatif yang masuki dan melanda bangsa Indonesia.


DAFTAR RUJUKAN
 

Abidin,  Slamet dan Aminudin (1999) Fiqih Menakahat. Bandung  :  Pustaka Setia

Abdur Ghofar, Ashari (1987) Pandangan Islam Tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil. Jakarta : CV. Gramada

Al. Ma’az, Nabil Hamid (2003) Menjalin Cinta Yang Suci. Bandung : Mujahid.

Al Mukafi (2003) Pacaran Dalam Kacamata Islam. Jakarta : Media Dakwa

Arikunto, Suharsimi (2002) Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Ashifa, Burhan (2001) Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta.

As’ad, Ali (1979) Terjemah Fathul Mu’in III. Kudus : Menara Kudus.

Depag RI (1995) Al-Qur’an Dan  Terjemahnya. Semarang : PT. Karya Toha  Putra

Depag (1995) Mimbar Hukum. Jakarta : Al Hikmah dan DITBINPERA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989) Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Hasan Bisri, Cik (2004) Pilar-Pilar Hukum Penelitian Dan Pranata Sosial  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Hilman (1999) Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : Bandar Maju

Madani, Yusuf (2003) Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam. Jakarta : Pustaka Zahra.

Masjfuk Zuhdi (1997) Masail Fiqhiyah. Jakarta : PT. Midas Surya Grafindo.

Al Haitami, M. Iqbal (2004) Married By Accident. Jakarta : Kultum Media

Nuruddin, Amiur (2004) Hukum Perdata Islam di Indonesia : Study Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No.1/ 1974 sampai KHI Jakarta : Pernada Media

Qodir Al Jailani, Abdul (1995) Keluarga Sakinah. Surabaya : PT. Bina Ilmu


68
 
 
Ramulyo, Idris (1996) Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis Dari UU No.1 Tahun 1974 dan KHI. Jakarta : Bumi Aksara

Sabiq, Sahid (1987) Fiqih Sunah 6. Bandung : PT. Al Ma’arif

Sujana Ahwal Kusuma, Nana (2000) Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung : PT. Sinar Baru Alga Sindo

Surti Retna (2002) Bimbingan Seks Suami Istri Pandangan Islam dan Medis. Bandung : Remaja Rosda Karya

Yakan, Fatkhi (1990) Al Islam Wa’I-Jins, Diterjemahkan Syafril Halim, Islam Dan Seks Jakarta : Firdaus

Yunus, Mahmud (1990) Hukum Perkawinan Dalam Islam : Menurut Madzhab Hanafi, Maliki, Hambali. Jakarta : PT. Hida Karya Agung.

------(t.th) Undang-Undang Perkawinan di IndonesiaDilengkapi Koplikasi Hukum Islam di Indonesia








[1] Selamet, Abidin and Aminudin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999),9.
[2] Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: Bandar Maju, 1999)
[3] Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1995),115.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),643.
[5] Undang-undang Perkawinan di Indonesia: dilengkapu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Op. Cit., 5.
[6] Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Hukum Penelitian dan Pranata Sosial (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),304.
[7] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1993),2009.
[8] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),122).
[9] Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2001),9.
[10] Suharsimi Arikunto, Op. Cit., 132.
[11] Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:PT. Remaja Rosda Karya, 2003),6.
[12] Nana Sujana Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung:PT. Sinar Baru Alga Sindo, 2000),85.
[13] Nana Sujana Ahwal Kusuma, Op. Cit., 89.
[14] Amir Nurudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Sstudi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Permada Media, 2004), 38.
[15] Mahmud Yunus, Hukum Dalam Islam: Menurut Madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan Hambali (Jakarta: TP. Hida Karya Agung, 1990),1.
[16] Amir Nurudin, Op. Cit.,38.
[17] Abdurahman Al Jaziri, Kitab ‘Ala Madzhib Al Arba’ah Juz IV (t. tp: Dar Ihya Al Turas Al Arobi, 1986),3
[18] Muhammad Syata al Dimiyati, I’anah At Talibin Juz III, (t. tp: Dar Ihya Al Qutub Al ‘Arabiyah, t.th),256.
[19] Muhammad Abu Zahrah, Al Ahwal Al Syakhsiyah (Qahirah: Dar al Fikri Al Arabi, 1957),9.
[20] Amirudin Nurudin, Op. Cit.,39.
[21] Idris, Romulyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Permada Media, 2001),132.
[22] Depag, Op. Cit.,210.
[23] Depag, Op. Cit.862.
[24] Depag, Op.Cit, 120.
[25] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1987),0.
[26] Depag, Op. Cit., 120.
[27] Idris Ramulyo, Op. Cit, 50.
[28] Muhammad Yunus, Op. Cit, 15.
[29] Ali As’ad, Terjemahan Fathul Mu’in III (Kudus: Menara Kudus, 1979), 13.
[30] Abdul Qadir Al Jailani, Keluarga Sakinah (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), 82.
[31] Ibid.,85.
[32] Ibid, 87.
[33] I’anatut Tholibin
[34] Selamet Abidin and Aminuddin, Op. Cit.,63.
[35] Amir Nuruddin, Op. Cit.,62-63.
[36] …………(t.th) Undang-undang Perkawinan di Indonesia: dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Op. Cit.,180.
[37] Idris Ramuyo, Op. Cit.,50-53.
[38] ………………(t,th) Undang-undang Perkawinan di Indonesia: Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Op. Cit.
[39] Amir Nuruddin, Op. Cit., 72-74.
[40] Depag RI. Op. Cit.70.
[41] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Mishbah, (Jakarta, Lentera hati, 2002),285.
[42] Depag, Mimbar Hukum (Jakarta Pusat: Al Hikmah dan DITBINPERA,2003),75.
[43] Wahab, Fiqih Islami Wa Adillatuhu (Bairut:Darul Fikri, 1989),142.
[44] Wahab Op. Cit, 143.
[45] Wahab, Op.Cit,140.
[46] Wahab, Op.Cit,140.
[47] Ashari Abdul Ghofar, Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil., (Jakarta : CV. Gramada, 1987), 101
[48] ………..(t.th) Undang-undang Perkawinan di Indonesia: Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Op. Cit.,
[49] Depag, Mimbar Hukum, Op. Cit.,77.
[50] M. Iqbal Al Haitami, Married By Accident (Jakarta: Kultum Media, 2004).
[51] Ibid
[52] Fathi Yakan, Al Islam Wa ‘I-Jins, diterjemahkan Syafril Halim, Islam Dan Seks (Jakarta: Firdaus, 1990),46.
[53] Surtiretna, Bimbingan Seks Suami Istri Pandangan Islam Dan Medis (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002),225.
[54] Yakan, Op. Cit.,48.
[55] Ibid.,69.
[56] Al Mukafi, Pacaran Dalam Kacamata Islam (Jakarta: Media Dkakwah,2003),79.
[57] Bukhori. Op.Cit, 198.
[58] Nabil Hamid Al Ma’az, Menjalin Cinta Yang Suci (Bandung: Mujahid,2003),24.
[59] Yusuf Madani, Pendidikan Seks Untuk Anak Dalam Islam (Jakarta: Pustaka  Zahrah,2003),91.
[60] Ibid,70.
[61] Al Ma’az, Op.Cit.,66.
[62] Rohmad, Wawancara (Tidu, 13 April 2009)
[63] H.Romli Wawancara Pukul 08.00 WIB di rumah (Pasuruan, 20 April 2009)
[64] Abdul Qohar, Wawancara Pukul 15.30 WIB di Rumah (Pasuruan, 23 pril 2009)
[65] Kartono, Wawancara Ptkul 08.00 WIB di Rumah (Pasuruan, 21 April 2009).
[66] Abdullah, Wawancara Pukul 08.00 WIB di Kator Desa Tidu (Pasuruan,9 April 2009)
[67] Ibid
[68] Yakan, Loc.Cit
[69] 68 Ibid, 69
[70] Sugeng, Wawancara Pukul 08.00 WIB di Rmah (Pasuruan, 17 April 2009).
[71] Abdul Qohar, Wawancara Pukul 15.30 WIB di Rumah (Pasuruan, 17 April 2009)
[72] Abdullah, Wawancara Pukul 08.00 WIB di Kantor Desa Tidu (Pasuruan, 9 April 2009)
[73] Depag Mimbar Hukum, Op.Cit, 77
[74] Sugeng, Wawancara Pukul 20 WIB di Rumah (Pasuruan,1 Mei 2009)
[75] Al Ma;az, Op. Cit
[76] Choiriman, Wawancara Pukul 10 WIB di Kantor KUA Pohjentrek (Pasuruan, 11 April 2009)
[77] Abdullah, Wawancara Pukul 0.00 WIB di Kantor Desa Tidu (Pasuruan, 10 Mei 2009)
[78] H. Hasani, Wawancara Pukul 10 WIB di Kantor Kades Tidu Kec. Pohjetrek (Pasuruan, 20 Mei 2009) H. Hasani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar